TUGAS BIOSTATISTIK
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA
DOSEN PEMBIMBING : HASAN BISRI SE, MSA
DISUSUN OLEH :
M. MURSID
NIM.
1014033
S1
KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA HUSADA
BOJONEGORO
2011
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB
PERILAKU
MEROKOK PADA REMAJA
Dian Komalasari
Universitas Islam
Indonesia
Avin Fadilla Helmi
Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine
which were predictors of smoking behavior on adolescents.
The subjects of this study were 75 male, aged
15-18 years, and smokers. This
study were done toward Scale of Parent’s Permissiveness Attitude to smoking behavior,
Scale of peer influence, Scale of Psychological Satisfaction, and Scale of Smoking
Behavior.
study were done toward Scale of Parent’s Permissiveness Attitude to smoking behavior,
Scale of peer influence, Scale of Psychological Satisfaction, and Scale of Smoking
Behavior.
The hypothesis was that parent’s permissiveness attitude to
smoking behavior, influence of peer,
psychological satisfaction was predictors toward smoking behavior on adolescents.
There was co-liniarity phenomenon between
psychological satisfaction and others predictor so that psychological
satisfaction out of regression analysis.
The result of regression analysis showed that
F value = 22,468 (p < 0,05) and R (R = 0,620 ate R2 = 0,384). This
meant that parent’s permissiveness attitude to smoking behavior and influence
of peer was predictors toward smoking behavior on adolescents. It could be concluded
that parent’s permissiveness attitude to smoking behavior and influence of peer
were effectively contribution 38,4 %.
Keyword: Smoking behavior,
adolescent
Perilaku merokok
dilihat dari
berbagai sudut pandang sangat
merugikan, baik
untuk diri sendiri maupun
orang disekelilingnya. Dilihat dari sisi individu yang bersangkutan, ada
beberapa riset yang mendukung
beberapa riset yang mendukung
pernyataan tersebut. Dilihat
dari sisi
kesehatan, pengaruh bahan-bahan kimia
yang dikandung rokok seperti nikotin,
CO (Karbonmonoksida) dan tar akan
memacu kerja dari susunan syaraf pusat
dan susunan syaraf simpatis sehingga
kesehatan, pengaruh bahan-bahan kimia
yang dikandung rokok seperti nikotin,
CO (Karbonmonoksida) dan tar akan
memacu kerja dari susunan syaraf pusat
dan susunan syaraf simpatis sehingga
mengakibatkan tekanan
darah meningkat
dan
detak jantung bertambah
cepat
(Kendal & Hammen, 1998),
(Kendal & Hammen, 1998),
menstimulasi kanker dan
berbagai penyakit
yang lain seperti penyempitan pembuluh
darah, tekanan darah
tinggi, jantung, paru-paru,
dan bronchitis kronis (Kaplan dkk, 1993). Bagi
ibu hamil,
rokok menyebabkan kelahiran premature,
berat badan bayi rendah, mortalitas
prenatal, kemungkinan lahir dalam
keadaan cacat, dan mengalami gangguan
berat badan bayi rendah, mortalitas
prenatal, kemungkinan lahir dalam
keadaan cacat, dan mengalami gangguan
dalam perkembangan (Davidson &
Neale, 1990). Hasil
riset Larson dkk
(dalam
Theodorus, 1994) menemukan
bahwa sensivitas ketajaman
penciuman dan pengecapan para perokok berkurang bila dibandingkan dengan non-perokok. Dilihat dari sisi ekonomi,
merokok pada dasarnya ‘membakar uang’ apalagi jika hal tersebut dilakukan
remaja yang belum mempunyai penghasilan sendiri.
Dilihat dari sisi orang
disekelilingnya, merokok menimbulkan
dampak negative bagi perokok pasif.
Resiko yang ditanggung perokok pasif
lebih berbahaya daripada perokok aktif
karena daya tahan terhadap zat-zat yang
berbahaya sangat rendah (Safarino dalam
Cahyani, 1995).
dampak negative bagi perokok pasif.
Resiko yang ditanggung perokok pasif
lebih berbahaya daripada perokok aktif
karena daya tahan terhadap zat-zat yang
berbahaya sangat rendah (Safarino dalam
Cahyani, 1995).
Tidak ada yang memungkiri adanya
dampak negatif dari perilaku merokok
tetapi perilaku merokok bagi kehidupan
manusia merupakan kegiatan yang
‘fenomenal’. Artinya, meskipun sudah
diketahui akibat negatif merokok tetapi
jumlah perokok bukan semakin menurun
tetapi semakin meningkat dan usia
merokok semakin bertambah muda.
Hasil riset Lembaga Menanggulangi
Masalah Merokok (Republika, 1998)
dampak negatif dari perilaku merokok
tetapi perilaku merokok bagi kehidupan
manusia merupakan kegiatan yang
‘fenomenal’. Artinya, meskipun sudah
diketahui akibat negatif merokok tetapi
jumlah perokok bukan semakin menurun
tetapi semakin meningkat dan usia
merokok semakin bertambah muda.
Hasil riset Lembaga Menanggulangi
Masalah Merokok (Republika, 1998)
melaporkan bahwa
di anak-anak di
Indonesia sudah ada yang mulai merokok
pada usia 9 tahun. Smet (1994)
Indonesia sudah ada yang mulai merokok
pada usia 9 tahun. Smet (1994)
mengatakan bahwa usia
pertama kali merokok pada umumnya
berkisar antara usia
11-13 tahun
dan mereka pada
umumnya merokok
sebelum usia 18
tahun.
Data WHO juga
semakin
mempertegas bahwa seluruh jumlah
perokok yang ada di dunia sebanyak 30%
adalah kaum remaja (Republika, 1998).
Hamper 50% perokok di Amerika Serikat
termasuk usia remaja (Theodorus, 1994).
Berdasarkan data tersebut dapat
mempertegas bahwa seluruh jumlah
perokok yang ada di dunia sebanyak 30%
adalah kaum remaja (Republika, 1998).
Hamper 50% perokok di Amerika Serikat
termasuk usia remaja (Theodorus, 1994).
Berdasarkan data tersebut dapat
dikatakan bahwa
perilaku merokok
dimulai pada
saat masa anak-anak
dan
masa remaja. Hamper sebagian
memahami akibat-akibat yang berbahaya
dari asap rokok tetapi mengapa mereka
tidak mencoba atau menghindari perilaku
tersebut?
dari asap rokok tetapi mengapa mereka
tidak mencoba atau menghindari perilaku
tersebut?
Ada
banyak alasan yang
melatar
belakangi perilaku merokok pada remaja.
Secara umum menurut Kurt Lewin,
bahwa perilaku merokok merupakan
fungsi dari lingkungan dan individu.
Artinya, perilaku merokok selain
disebabkan faktor-faktor dari dalam diri,
juga disebabkan faktor lingkungan.
Faktor dari dalam remaja dapat dilihat
dari kajian perkembangan remaja.
Remaja mulai merokok dikatakan oleh
Erikson (Gatchel, 1989) berkaitan dengan
adanya krisis aspek psikososial yang
dialami pada masa perkembangannya
yaitu masa ketika mereka sedang mencari
jati dirinya. Dalam masa remaja ini,
sering dilukiskan sebagai masa badai dan
topan karena ketidaksesuaian antara
perkembangan psikis dan social. Upaya-
upaya untuk menemukan jati diri
tersebut, tidak semua dapat berjalan
sesuai dengan harapan masyarakat.
Beberapa remaja melakukan perilaku
merokok sebagai cara kompensatoris.
Seperti yang dikatakan oleh Brigham
(1991) bahwa perilaku merokok bagi
remaja merupakan perilaku simbolisasi.
Simbol dari kematangan, kekuatan,
kepemimpinan, dan daya tarik terhadap
lawan jenis.
belakangi perilaku merokok pada remaja.
Secara umum menurut Kurt Lewin,
bahwa perilaku merokok merupakan
fungsi dari lingkungan dan individu.
Artinya, perilaku merokok selain
disebabkan faktor-faktor dari dalam diri,
juga disebabkan faktor lingkungan.
Faktor dari dalam remaja dapat dilihat
dari kajian perkembangan remaja.
Remaja mulai merokok dikatakan oleh
Erikson (Gatchel, 1989) berkaitan dengan
adanya krisis aspek psikososial yang
dialami pada masa perkembangannya
yaitu masa ketika mereka sedang mencari
jati dirinya. Dalam masa remaja ini,
sering dilukiskan sebagai masa badai dan
topan karena ketidaksesuaian antara
perkembangan psikis dan social. Upaya-
upaya untuk menemukan jati diri
tersebut, tidak semua dapat berjalan
sesuai dengan harapan masyarakat.
Beberapa remaja melakukan perilaku
merokok sebagai cara kompensatoris.
Seperti yang dikatakan oleh Brigham
(1991) bahwa perilaku merokok bagi
remaja merupakan perilaku simbolisasi.
Simbol dari kematangan, kekuatan,
kepemimpinan, dan daya tarik terhadap
lawan jenis.
Di
sisi lain, saat
pertama kali
mengkonsumsi rokok, gejala-gejala yang
mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah
terasa getir, dan perut mual. Namun
demikian, sebagian dari para pemula
tersebut mengabaikan perasaan tersebut,
biasanya berlanjut menjadi kebiasaan,
dan akhirnya menjadi ketergantungan.
mengkonsumsi rokok, gejala-gejala yang
mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah
terasa getir, dan perut mual. Namun
demikian, sebagian dari para pemula
tersebut mengabaikan perasaan tersebut,
biasanya berlanjut menjadi kebiasaan,
dan akhirnya menjadi ketergantungan.
Ketergantungan ini
dipersepsikan sebagai
kenikmatan yang memberikan kepuasan psikologis.
Gejala ini dapat
dijelaskan
dari konsep tobacco dependency
dari konsep tobacco dependency
(ketergantungan rokok). Artinya, perilaku
merokok merupakan perilaku yang
menyenangkan dan bergeser menjadi
aktivitas yang bersifat obsesif. Hal ini
disebabkan sifat nikotin adalah adiktif,
jika dihentikan secara tiba-tiba akan
menimbulkan stress. Secara manusiawi,
orang cenderung untuk menghindari
ketidakseimbangan dan lebih senang
mempertahankan apa yang selama ini
dirasakan sebagai kenikmatan sehingga
dapat difahami jika para perokok sulit
untuk berhenti merokok. Dikatakan
Klinke & Meeker (dalam Aritonang,
merokok merupakan perilaku yang
menyenangkan dan bergeser menjadi
aktivitas yang bersifat obsesif. Hal ini
disebabkan sifat nikotin adalah adiktif,
jika dihentikan secara tiba-tiba akan
menimbulkan stress. Secara manusiawi,
orang cenderung untuk menghindari
ketidakseimbangan dan lebih senang
mempertahankan apa yang selama ini
dirasakan sebagai kenikmatan sehingga
dapat difahami jika para perokok sulit
untuk berhenti merokok. Dikatakan
Klinke & Meeker (dalam Aritonang,
1997) bahwa motif para perokok adalah
relaksasi. Dengan merokok dapat
relaksasi. Dengan merokok dapat
mengurangi ketegangan,
memudahkan
berkonsentrasi, pengala-man yang
berkonsentrasi, pengala-man yang
menyenangkan, dan
relaksasi.
Seperti yang
diungkapkan oleh Leventhal &
Clearly (dalam Cahyani,
1995) terdapat 4
tahap dalam perilaku
merokok sehingga menjadi
perokok yaitu:
1. Tahap Preparatory. Seseorang
mendapatkan gambaran yang
menyenangkan mengenai merokok
dengan cara mendengar, melihat, atau
dari ahsil bacaan. Hal-hal ini
dengan cara mendengar, melihat, atau
dari ahsil bacaan. Hal-hal ini
menimbulkan minat untuk merokok. 2. Tahap Initiation.
Tahap perintisan
merokok yaitu tahap apakah
seseorang akan meneruskan ataukah
tidak terhadap perilaku merokok.
merokok yaitu tahap apakah
seseorang akan meneruskan ataukah
tidak terhadap perilaku merokok.
3. Tahap becoming a smoker. Apabila
seseorang telah mengkonsumsi rokok
sebanyak 4 batang per hari maka
seseorang telah mengkonsumsi rokok
sebanyak 4 batang per hari maka
mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
4. Tahap maintenance
of smoking.
Tahap
ini merokok sudah
menajdi
salah satu bagian dari cara pengaturan
diri (self-regulating). Merokok
salah satu bagian dari cara pengaturan
diri (self-regulating). Merokok
dilakukan untuk
memperoleh efek
fisiologis yang menyenangkan.
Selain faktor perkembangan remaja
dan kepuasan psikologis, masih banyak
faktor dari luar individu yang
fisiologis yang menyenangkan.
Selain faktor perkembangan remaja
dan kepuasan psikologis, masih banyak
faktor dari luar individu yang
berpengaruh pada
proses pembentukan
perilaku merokok. Pada dasarnya
perilaku merokok adalah perilaku yang
dipelajari. Hal itu berarti ada fihak-fihak
yang berpengaruh besar dalam proses
sosialisasi.
perilaku merokok. Pada dasarnya
perilaku merokok adalah perilaku yang
dipelajari. Hal itu berarti ada fihak-fihak
yang berpengaruh besar dalam proses
sosialisasi.
Konsep sosialisasi
pertama berkem-
bang dari Sosiologi dan Psikologi Sosial
merupakan suatu proses tranmisi nilai-
nilai, sistem belief, sikap, atau pun
perilaku-perilaku dari generasi
bang dari Sosiologi dan Psikologi Sosial
merupakan suatu proses tranmisi nilai-
nilai, sistem belief, sikap, atau pun
perilaku-perilaku dari generasi
sebelumnya
kepada generasi berikutnya
(Durkin, 1995). Adapun tujuan sosialisasi
ini adalah agar generasi berikutnya
mempunyai sistem nilai yang sesuai
dengan tuntutan norma yang diinginkan
oleh kelompok, sehingga individu dapat
diterima dalam suatu kelompok. Dalam
kaitannya dengan perilaku merokok, pada
dasarnya hampir tidak ada orang tua yang
menginginkan anaknya untuk jadi
perokok bahkan masyarakat tidak
menuntut anggota masyarakat untuk
menjadi perokok. Namun demikian,
dalam kaitan ini secara tidak sadar, ada
beberapa agen yang merupakan model
dan penguat bagi perokok remaja.
Siapakah agen sosialisasi perilaku
merokok pada remaja? Dengan merujuk
konsep tranmisi perilaku, pada dasarnya
perilaku dapat ditranmisikan melalui
tranmisi vertikal dan horisontal (Berry
(Durkin, 1995). Adapun tujuan sosialisasi
ini adalah agar generasi berikutnya
mempunyai sistem nilai yang sesuai
dengan tuntutan norma yang diinginkan
oleh kelompok, sehingga individu dapat
diterima dalam suatu kelompok. Dalam
kaitannya dengan perilaku merokok, pada
dasarnya hampir tidak ada orang tua yang
menginginkan anaknya untuk jadi
perokok bahkan masyarakat tidak
menuntut anggota masyarakat untuk
menjadi perokok. Namun demikian,
dalam kaitan ini secara tidak sadar, ada
beberapa agen yang merupakan model
dan penguat bagi perokok remaja.
Siapakah agen sosialisasi perilaku
merokok pada remaja? Dengan merujuk
konsep tranmisi perilaku, pada dasarnya
perilaku dapat ditranmisikan melalui
tranmisi vertikal dan horisontal (Berry
dkk, 1992). Tranmisi vertikal
dilakukan
oleh orang tua dan tranmisi horisontal
dilakukan oleh teman sebaya. Dalam
oleh orang tua dan tranmisi horisontal
dilakukan oleh teman sebaya. Dalam
kesempatan ini
yang dimaksud dengan
tranmisi horisontal adalah
lingkungan teman sebaya dan tranmisi vertikal adalah sikap
permisif orang tua
terhadap perilaku
merokok.
Dalam penelitian
ini ada 3 faktor
penybab perilaku merokok pada remaja yaitu kepuasan psikologis, sikap
permisif orang tua
terhadap perilaku merokok remaja, dan pengaruh teman sebaya.
Bagaimana cara
transmisi perilaku
merokok? Salah satu yang dapat
digunakan untuk menjelaskan fenomena
ini adalah teori social cognitive learning
dari Bandura. Teori ini menyatakan
bahwa perilaku individu disebabkan
pengaruh lingkungan, individu, dan
kognitif. Perilaku merokok tidak semata-
mata merupakan proses imitasi dan
penguatan positif dari keluarga maupun
lingkungan teman sebaya tetapi juga
adanya pertimbangan-pertimbangan atas
konsekuensi perilaku merokok. Dalam
kaitan ini, seperti yang telah diuraikan
bagian terdahulu, jika orang tua atau
saudaranya merokok merupakan agen
imitasi yang baik. Jika keluarga mereka
tidak ada yang merokok, maka sikap
permisif orang tua merupakan pengukuh
posit atas perilaku merokok.
merokok? Salah satu yang dapat
digunakan untuk menjelaskan fenomena
ini adalah teori social cognitive learning
dari Bandura. Teori ini menyatakan
bahwa perilaku individu disebabkan
pengaruh lingkungan, individu, dan
kognitif. Perilaku merokok tidak semata-
mata merupakan proses imitasi dan
penguatan positif dari keluarga maupun
lingkungan teman sebaya tetapi juga
adanya pertimbangan-pertimbangan atas
konsekuensi perilaku merokok. Dalam
kaitan ini, seperti yang telah diuraikan
bagian terdahulu, jika orang tua atau
saudaranya merokok merupakan agen
imitasi yang baik. Jika keluarga mereka
tidak ada yang merokok, maka sikap
permisif orang tua merupakan pengukuh
posit atas perilaku merokok.
Demikian halnya
yang terjadi pada
kelompok teman sebaya. Teman sebaya
mempunyai peran yang sangat berarti
bagi remaja, karena masa tersebut remaja
mula memisahkan diri dari orang tua dan
mulai bergabung pada kelompok sebaya.
Kebutuhan untuk diterima sering kali
membuat remaja berbuat apa saja agar
dapat diterima kelompoknya dan terbebas
dari sebutan ‘pengecut’ dan ‘banci’.
Selanjutnya jika dilihat dari tahap-
tahap perilaku merokok, teman sebaya
dan keluarga merupakan fihak-fihak yang
pertama kali mengenalkan atau mencoba
kelompok teman sebaya. Teman sebaya
mempunyai peran yang sangat berarti
bagi remaja, karena masa tersebut remaja
mula memisahkan diri dari orang tua dan
mulai bergabung pada kelompok sebaya.
Kebutuhan untuk diterima sering kali
membuat remaja berbuat apa saja agar
dapat diterima kelompoknya dan terbebas
dari sebutan ‘pengecut’ dan ‘banci’.
Selanjutnya jika dilihat dari tahap-
tahap perilaku merokok, teman sebaya
dan keluarga merupakan fihak-fihak yang
pertama kali mengenalkan atau mencoba
meroko, kemudian berlanjut
dan berkem-
bang menjadi tobacco
dependency atau
adanya ketergantungan merokok. Dalam
tahap ini maka merokok merupakan
kepuasaan psikologis dan bukan semata-
mata kebutuhan untuk mewujudkan
simbolisasi kejantanan dan kedewasaan
remaja.
adanya ketergantungan merokok. Dalam
tahap ini maka merokok merupakan
kepuasaan psikologis dan bukan semata-
mata kebutuhan untuk mewujudkan
simbolisasi kejantanan dan kedewasaan
remaja.
HIPOTESIS
Kepuasan psikologis, sikap permisif
orang tua terhadap perilaku meroko, dan
lingkungan teman sebaya merupakan
prediktor bagi perilaku merokok remaja.
orang tua terhadap perilaku meroko, dan
lingkungan teman sebaya merupakan
prediktor bagi perilaku merokok remaja.
METODE PENELITIAN
A.
Identifikasi
Variabel-variabel
Penelitian
Penelitian
1.
Kriterium : perilaku merokok
2. Prediktor
a. sikap permisif orang tua terhadap
perilaku merokok remaja
b. lingkungan teman sebaya
c. kepuasan psikologis
B. Definisi Operasional
Variabel
Penelitian
1. Perilaku merokok
adalah aktivitas
subjek yang berhubungan dengan
perilaku merokoknya, yag diukur
melalui intensitas merokok, waktu
merokok, dan fungsi merokok dalam
kehidupan sehari-hari, yang diungkap
melalui Skala Perilaku Merokok.
2. Sikap permisif orang tua terhadap
perilaku merokok remaja adalah
bagaimana penerimaan dari keluarga
terhadap perilaku merokok. Semakin
tinggi sekor yang diperoleh subjek
semakin besar kemungkinan
subjek yang berhubungan dengan
perilaku merokoknya, yag diukur
melalui intensitas merokok, waktu
merokok, dan fungsi merokok dalam
kehidupan sehari-hari, yang diungkap
melalui Skala Perilaku Merokok.
2. Sikap permisif orang tua terhadap
perilaku merokok remaja adalah
bagaimana penerimaan dari keluarga
terhadap perilaku merokok. Semakin
tinggi sekor yang diperoleh subjek
semakin besar kemungkinan
pengaruh keluarga terhadap
pembentukan merokok. Hal ini
akan
diungkap melalui Skala A.
3. Lingkungan
teman sebaya adalah
sejauh mana subjek mempunyai
teman atau kelompok teman sebaya
yang merokok dan mempunyai
penerimaan positif terhadap perilaku
merokok. Hal ini akan diungkap
melalui Skala B.
sejauh mana subjek mempunyai
teman atau kelompok teman sebaya
yang merokok dan mempunyai
penerimaan positif terhadap perilaku
merokok. Hal ini akan diungkap
melalui Skala B.
4. Kepuasan
psikologis adalah akibat
atau efek yang diperoleh dari
merokok yang berupa keyakinan dan
perasaan yang menyenangkan, yang
dirasakan oleh subjek. Hal ini akan
diungkap dengan Skala C.
atau efek yang diperoleh dari
merokok yang berupa keyakinan dan
perasaan yang menyenangkan, yang
dirasakan oleh subjek. Hal ini akan
diungkap dengan Skala C.
C. Subjek Penelitian
Subjek
penelitian ini adalah
remaja perokok
yang berusia 15-18 tahun yang tinggal di kampung Sosrowijayan Wetan, siswa SMU Kolombo, dan siswa SMU 9 Yogyakarta.
Dalam penelitian ini melibatkan 90 subjek
penelitian, tetapi
yang dapat dianalisis
sebanyak 75 subjek
yang semuanya berjenis
kelamin pria. Pemilihan subjek
penelitian berdasarkan kerelaan.
D.
Alat Pengukuran Data
Dalam penelitian ii ada beberapa alat
yang digunakan untuk mengukur
beberapa variabel penelitian yaitu
Identitas subjek, Skala A untuk
mengukur sikap permisiforang tua
terhadap perilaku merokok remaja, Skala
B untuk mengukur lingkungan teman
sebaya, dan Skala C untuk mengukur
kepuasan psikologis, dan Skala Perilaku
Merokok yang disusun oleh Aritonang
(1997).
yang digunakan untuk mengukur
beberapa variabel penelitian yaitu
Identitas subjek, Skala A untuk
mengukur sikap permisiforang tua
terhadap perilaku merokok remaja, Skala
B untuk mengukur lingkungan teman
sebaya, dan Skala C untuk mengukur
kepuasan psikologis, dan Skala Perilaku
Merokok yang disusun oleh Aritonang
(1997).
Uji
coba alat ukur
dilakukan pada siswa SMU Pakem yang
melibatkan 60 siswa.
Hasil uji konsistensi
aitem total dan
reliabilitas terhadap skala
tersebut terlihat dalam tabel
berikut ini.
Tabel 1. Koefisien konsistensi aitem total dan koefisien reliabilitas
Jenis Skala Jumlah
aitem Koefisien Konsistensi Koefisien
aitem total Reliabilitas
Skala A 14 0,3420 - 0,7915 0,8780
Skala B 10 0,3094 - 0,4334 0,7849
Skala C 13 0,3277 - 0,6453 0,8519
Skala Perilaku Merokok 43 0,3021 - 0,6782 0,9219
E.
Teknik Analisi Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi ganda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini
akan disajikan hasil
uji
data secara deskriptif seperti terlihat pada
tabel 2.
data secara deskriptif seperti terlihat pada
tabel 2.
Sebelum dilakukan
analisis regresi
terlebih dahulu dilakukan iji asumsi
yang meliputi uji normalitas, uji
linieritas, dan
interkorelasi antar variabel-variabel
interkorelasi antar variabel-variabel
penelitian yang terlihat
dalam tabel 3.
Tabel 2. Hasil analisi
deskriptif variabel-variabel penelitian
Variabel Sekor Sekor Sekor Deviasi
Minimal Maksimal Rerata Standar
Sikap permisif orang tua terhadap 3 144 22,4667 1,08
perilaku merokok remaja
Lingkungan teman sebaya 16 40 29,2267 0,52
Kepuasan Psikologis 13 47 32,2000 0,78
Perilaku Merokok 34 109 75,1876 1,9
Tabel
3. Uji Normalitas Variabel-variabel Penelitian
Variabel Harga Z (KS) p Status
Sikap permisif orang tua terhadap 0,606 >0,05 Normal
perilaku merokok remaja
Lingkungan teman sebaya 0,802 >0,05 Normal
Kepuasan Psikologis 0,908 >0,05 Normal
Perilaku Merokok 0,763 >0,05 Normal
Normalitas masing-masing
variabel
akandiuji dengan
skala statistika non
paramatrik one-sample Kolmograf-
paramatrik one-sample Kolmograf-
Smirnof. Sebaran sekor dikatakan
normal
apabila nilai Z (KS) berada dalam p >
0,05. berdasarkan hasil dalam tabel 3
apabila nilai Z (KS) berada dalam p >
0,05. berdasarkan hasil dalam tabel 3
terlihat bahwa semua variabel
mempunyai distribusi
normal.
Selanjutnya untuk
melihat linieritas
masing-masing prediktor terhadap
kriterium dilakukan uji
linieritas. Hubungan antara prediktor dan kriterium dikatakan linier
jika ke dua
variabel mempunyai
nilai F dengan d < 0,05.
Tabel
4. Hasil uji
linieritas prediktor dengan kriterium
Variabel F p Status
Sikap permisif orang tua terhadap 21,433 <0,05 Linier
perilaku merokok remaja
Lingkungan teman sebaya 12,654 <0,05 Linier
Kepuasan Psikologis 55,567 <0,05 Linier
Berdasarkan uji linieritas
menunjukkan bahwa harga F (p <
0,05);
hal itu berarti semua prediktor
hal itu berarti semua prediktor
mempunyai hubungan yang linier dengan
kriterium. Berikut ini disajikan matrik
interkorelasi antar variabel untuk
kriterium. Berikut ini disajikan matrik
interkorelasi antar variabel untuk
mengetahui sejauh
mana keeratan
hubungan antar prediktor, sehingga dapat ditentukan apakah
prediktor-prediktor tersebut merupakan variabel bebas atau terjadi kolinieritas.
Tabel 5. Matrik
interkorelasi antar variabel
Sikap permisif Pengaruh Kepuasan Perilaku
orang tua teman psikologis merokok
terhadap perilaku sebaya
merokok remaja
Sikap permisif orang tua terhadap 1,00 0,038 0,429*) 0,494*)
perilaku merokok remaja
Lingkungan teman sebaya 0,069 1,00 0,366*) 0,393*)
Kepuasan Psikologis 0,429*) 0,366*) 1,00 0,640*)
Perilaku Merokok 0,494*) 0,393*) 0,640*) 1,00
Ket
: *) p < 0,05
Berdasarkan matrik
interkorelasi Berdasarkan hasil
analisis regresi
terlihat bahwa
variabel kepuasan
psikologis mempunyai hubungan
erat dengan variabel sikap
permisif orang tua terhadap perilaku merokok
remaja (r = 0,429; p
< 0,05) dan lingkungan teman sebaya (r =
0,366; p < 0,05).
Dengan
demikian variabel
kepuasan psikologis
bukan variabel yang berdiri sendiri atau
terbebas dari variabel sikap permisif
orang tua terhadap perilaku merokok
remaja dan lingkungan teman sebaya. Hal
ini disebut dengan kolinieritas, dengan
demikian variabel ini tidak akan
diikutsertakan dalam analisis regresi
ganda. Hasil analisis regresi ganda
memperlihatkan bahwa F = 22,468 (p <
0,05) dan R = 0,620 (R2 = 0,384).
bukan variabel yang berdiri sendiri atau
terbebas dari variabel sikap permisif
orang tua terhadap perilaku merokok
remaja dan lingkungan teman sebaya. Hal
ini disebut dengan kolinieritas, dengan
demikian variabel ini tidak akan
diikutsertakan dalam analisis regresi
ganda. Hasil analisis regresi ganda
memperlihatkan bahwa F = 22,468 (p <
0,05) dan R = 0,620 (R2 = 0,384).
Artinya, sikap
permisif orang tua
terhadap perilaku merokok remaja dan
lingkungan teman sebaya merupakan
prediktor terhadap perilaku merokok
remaja. Jadi sumbangan sikap permisif
orang tua dan lingkungan teman sebaya
terhadap perilaku merokok remaja
sebanyak 38,4%. Sementara itu,
terhadap perilaku merokok remaja dan
lingkungan teman sebaya merupakan
prediktor terhadap perilaku merokok
remaja. Jadi sumbangan sikap permisif
orang tua dan lingkungan teman sebaya
terhadap perilaku merokok remaja
sebanyak 38,4%. Sementara itu,
hubungan kepuasan psikologis terhadap perilaku merokok sebesar r = 0,640
(p < 0,05). Hal
ini berarti bahwa
kepuasan psikologis menyumbang 40,9% terhadap perilaku merokok.
ganda, hipotesis
yang diajukan tidak
dapat diterima. Namun
dmikian, sikap
permisif orang tua terhadap perilaku
merokok remaja dan lingkungan sebaya
merupakan prediktor yang cukup baik
trhadap perilaku merokok remaja yaitu
38,4%. Hal ini berarti bahwa faktor
lingkungan yaitu lingkungan keluarga
dan lingkungan teman sebaya
permisif orang tua terhadap perilaku
merokok remaja dan lingkungan sebaya
merupakan prediktor yang cukup baik
trhadap perilaku merokok remaja yaitu
38,4%. Hal ini berarti bahwa faktor
lingkungan yaitu lingkungan keluarga
dan lingkungan teman sebaya
memberikan sumbangan
yang berarti
dalam perilaku merokok remaja. Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian
yang dilakukan Theodorus (1994)
dalam perilaku merokok remaja. Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian
yang dilakukan Theodorus (1994)
mengatakan bahwa keluarga
perokok sangat berperan terhadap
perilaku merokok anak-anaknya dibandingkan keluarga non -perokok.
Dalam hal ini
menurut pandangan social
cognitive
learning theory, merokok bukan semata-
mata proses belajar pengamatan anak
terhadap orang tua atau saudaranya tetapi
adanya pengukuh positif dari orang tua
dan konsekuensi-konsekuensi merokok
dirasakan menyenangkan remaja.
Pengukuh positif lain diterima dari
teman sebaya. Hasil penelitian ini
memperkuat penelitian yang dilakukan
oleh Harlianti (1988) bahwa lingkungan
sebaya memberikan sumbangan efektif
sebesar 33,048%. Lingkungan teman
learning theory, merokok bukan semata-
mata proses belajar pengamatan anak
terhadap orang tua atau saudaranya tetapi
adanya pengukuh positif dari orang tua
dan konsekuensi-konsekuensi merokok
dirasakan menyenangkan remaja.
Pengukuh positif lain diterima dari
teman sebaya. Hasil penelitian ini
memperkuat penelitian yang dilakukan
oleh Harlianti (1988) bahwa lingkungan
sebaya memberikan sumbangan efektif
sebesar 33,048%. Lingkungan teman
sebaya mempunyai
arti yang sangat
penting bagi
remaja. Kebutuhan untuk
diterima dan usaha untuk menghindari
penolakan kelompok teman sebaya
merupakan kebutuhan yang sangat
penting. Remaja tidak ingin dirinya
ditolak dan menghindari sebutan ‘banci’
atau ‘pengecut’. Merokok bagi remaja
diterima dan usaha untuk menghindari
penolakan kelompok teman sebaya
merupakan kebutuhan yang sangat
penting. Remaja tidak ingin dirinya
ditolak dan menghindari sebutan ‘banci’
atau ‘pengecut’. Merokok bagi remaja
juga merupakan simbolisasi,simbol atas kekuasaan, kejantanan, dan
kedewasaan (Brigham,
1991).
Kepuasan psikologis
memberikan
sumbangan yang sangat tinggi terhadap
perilaku merokok remaja yaitu 40,9%.
sumbangan yang sangat tinggi terhadap
perilaku merokok remaja yaitu 40,9%.
Hal
ini memberikan gambaran
bahwa
perilaku merokok bagi subjek dianggap
memberikan kenikmatan dan
perilaku merokok bagi subjek dianggap
memberikan kenikmatan dan
menyenangkan. Rokok
diyakini dapat
mendatangkan efek-efek yang
mendatangkan efek-efek yang
menyenangkan. Berikut ini
disajikan perasaan subjek setelah merokok.
Tabel 6. Efek-efek setelah
merokok
Efek-efek %
Nikmat 38,298
Puas 15,957
Tenang 12,766
Biasa
saja 11,703
Santai 5,319
Hangat 3,192
Percaya
diri 2,128
Gaya 1,064
Masalah
hilang 1,064
Ngantuk 1,064
Pusing 5,257
Pahit 2,218
Berdasarkan tabel 6 terlihat bahwa
merokok bagi remaja mempunyai kaitan yang
erat dengan aspek
psikologis terutama efek yang positif yaitu sejumlah 92,555%
sedangkan efek negatif hanya sebesar 7,54% (pusing,
ngantuk, dan
pahit).
Hasil ini menunjukkan
bahwa
subjek merasakan kepuasan setelah
merokok. Kepuasan ini berkaitan dengan
aspek-aspek emosi. Yang paling
menonjol dirasakan subjek adalah
kenikmatan (38,298%), kepuasan
subjek merasakan kepuasan setelah
merokok. Kepuasan ini berkaitan dengan
aspek-aspek emosi. Yang paling
menonjol dirasakan subjek adalah
kenikmatan (38,298%), kepuasan
(15,957%), dan
merasakan ketenangan (12,766%).
Kepuasan psikologis ini kemungkinan berhubungan
erat dengan frekuensi
merokok subjek. Rata-rata subjek merokok 7
batang per hari.
Dikatakan Laventhal &
Clearly (dalam Cahyani, 1995) bahwa
remaja yang
merokok
lebih dari 4
batang per hari
mereka
sudah dikategorikan sebagai
perokok. Subjek yang mengkonsumsi
rokok sama dengan atau lebih besar dari
4 batang per hari lebih dari 68 %. Hanya
15% subjek yang menyatakan tidak tentu
dalam mengkonsumsi rokok dengan
alasan karena keterbatasan uang. Hasil ini
semakin memperkuat pandangan bahwa
merokok bukan berkaitan dengan aspek
rasional yaitu aspek negatif dari rokok,
baik dari sisi ekonomis maupun
kesehatan, tetapi lebih berkaitan
perokok. Subjek yang mengkonsumsi
rokok sama dengan atau lebih besar dari
4 batang per hari lebih dari 68 %. Hanya
15% subjek yang menyatakan tidak tentu
dalam mengkonsumsi rokok dengan
alasan karena keterbatasan uang. Hasil ini
semakin memperkuat pandangan bahwa
merokok bukan berkaitan dengan aspek
rasional yaitu aspek negatif dari rokok,
baik dari sisi ekonomis maupun
kesehatan, tetapi lebih berkaitan
kepuasan emosional. Adapun
frekuensi konsumsi rokok disajikan
dalam tabel berikut ini.
Tabel 7. Jumlah Rokok per
Hari
Kondisi yang paling banyak
perilaku
Jumlah
rokok (batang) Frekuensi
24 2
14 1
12 14
11 1
10 2
8 1
7 6
6 12
5 10
4 2
3 6
2 6
1 1
Tidak
tentu 11
Total 75
Kepuasan psikologis merokok
diperkuat oleh efek-efek setelah
merokok, bahwa efek
negatif merokok
hanya dirasakan sebesar 7,45%. Hal ini
berarti subjek sudah terbiasa merokok,
sebab bagi pemula efek yang timbul
adalah pusing, mual-mual, dan mulut
aphit.
hanya dirasakan sebesar 7,45%. Hal ini
berarti subjek sudah terbiasa merokok,
sebab bagi pemula efek yang timbul
adalah pusing, mual-mual, dan mulut
aphit.
Perilaku merokok
erat kaitannya dengan kondisi
emosi. Dalam kondisi emosi sepertiapakah jumlah rokok yang dikonsumsi paling banyak?
Tabel 8. Kondisi konsumsi
rokok yang
terbanyak
Kondisi
konsumsi rokok %
yang terbanyak
Stres 40,86
Kumpul
dengan teman 27,96
Habis
makan 12,903
Dingin 7,529
Ada
uang lebih 6,542
Mendengarkan
musik 1,075
Jauh
dari orang tua 1,075
Jalan-jalan 1,075
merokok yaitu
ketika subjek dalam
tekanan (stres) yaitu 40,86%; yang kedua
ketika berkumpul dengan temansebay
(27,96%). Konsumsi rokok ketika stres
merupakan upaya-upaya pengatasan
maslah yang bersifat emosional atau
sebagai kompensatoris kecemasan yang
dialihkan terhadap perilaku merokok. Hal
ini semakin mempertegas mengapa para
perokok merasakan kenikmatan setelah
merokok. Perilaku merokok dipandang
sebagai upaya penyeimbang dalam
kondisi stres. Dengan kata lain
berdasarkan pandangan Laventhal &
Clearly (dalam Cahyani, 1995) bahwa
ketika berkumpul dengan temansebay
(27,96%). Konsumsi rokok ketika stres
merupakan upaya-upaya pengatasan
maslah yang bersifat emosional atau
sebagai kompensatoris kecemasan yang
dialihkan terhadap perilaku merokok. Hal
ini semakin mempertegas mengapa para
perokok merasakan kenikmatan setelah
merokok. Perilaku merokok dipandang
sebagai upaya penyeimbang dalam
kondisi stres. Dengan kata lain
berdasarkan pandangan Laventhal &
Clearly (dalam Cahyani, 1995) bahwa
kemungkinan besar subjek telah masuk
ke tahap bukan saja dalam becoming a
smoker tetapi telah masuk dalam tahap
maintenance of smoking. Merokok sudah
menjadi salah satu bagian dari cara
pengaturan diri (self-regulating).
ke tahap bukan saja dalam becoming a
smoker tetapi telah masuk dalam tahap
maintenance of smoking. Merokok sudah
menjadi salah satu bagian dari cara
pengaturan diri (self-regulating).
Merokok dilakukan
untuk memperoleh
efek fisiologis yang menyenangkan.
Seperti yang telah dikemukakan,
bahwa remaja merokok lebih merupakan
upaya-upaya untuk dapat diterima di
lingkungannya. Hampir 28% subjek
efek fisiologis yang menyenangkan.
Seperti yang telah dikemukakan,
bahwa remaja merokok lebih merupakan
upaya-upaya untuk dapat diterima di
lingkungannya. Hampir 28% subjek
menyatakan bahwa konsumsi
terbesar rokok
ketika mereka sedang berkumpul dengan
teman-temannya yaitu apakah mereka
nongkrong di mall,
begadang, piknik, atau kumpul-kumpul saja.
Kapan pertama kali mereka
merokok? Sebanyak 16
(21,33%) subjek memulai perilaku
merokok ketika masih SD. Hasil ini memperkuat pendapat Traquet (dalam
Suhariyono, 1993) bahwa perilaku
Suhariyono, 1993) bahwa perilaku
merokok biasanya di
mulai pada masa remaja meskipun proses menjadi perokok
telah dimulai
sejak masa kanak-kanak.
Tabel 9. Waktu pertama
kali merokok
Pertama kali Frekuensi %
merokok
SD 16 21,33
SLTP 47 62,67
SMU 12 16,00
Jumlah 75 100,00
Berdasarkan tabel
9 terlihat bahwa
masa-masa yang kritis atau rawan
terhadap perilaku merokok pada masa
SLTP atau termasuk tahap perkembangan
remaja awal. Remaja awal merupakan
periode yang paling kritis terhadap
pengaruh teman sebaya dan didukung
sukap yang permisif dari orang tua.
masa-masa yang kritis atau rawan
terhadap perilaku merokok pada masa
SLTP atau termasuk tahap perkembangan
remaja awal. Remaja awal merupakan
periode yang paling kritis terhadap
pengaruh teman sebaya dan didukung
sukap yang permisif dari orang tua.
KESIMPULAN
Perilaku merokok
adalah perilaku
yang dipelajari. Proses belajar dimulai
dari sejak masa anak-anak, sedangkan
proses menjadi perokok pada masa
remaja. Proses belajar atau sosialisasi
tampaknya dapat dilakukan melalui
tranmisi dari generasi sebelumnya yaitu
tranmisi vertikal yaitu dari lingkungan
keluarga, lebih spesifik sikap permisif
orang tua terhadap perilaku merokok
remaja. Sosialisasi yang lain melalui
tranmisi horisontal melalui lingkungan
teman sebaya. Namun demikian, yang
paling besar memberikan kontribusi
adalah kepuasan-kepuasan yang
yang dipelajari. Proses belajar dimulai
dari sejak masa anak-anak, sedangkan
proses menjadi perokok pada masa
remaja. Proses belajar atau sosialisasi
tampaknya dapat dilakukan melalui
tranmisi dari generasi sebelumnya yaitu
tranmisi vertikal yaitu dari lingkungan
keluarga, lebih spesifik sikap permisif
orang tua terhadap perilaku merokok
remaja. Sosialisasi yang lain melalui
tranmisi horisontal melalui lingkungan
teman sebaya. Namun demikian, yang
paling besar memberikan kontribusi
adalah kepuasan-kepuasan yang
diperoleh setelah merokok atau
rokok
memberikan kontribusi yang positif.
Pertimbangan-pertimbangan emosional
lebih dominan dibandingkan dengan
pertimbangan-pertimbangan rasional bagi
perokok.
memberikan kontribusi yang positif.
Pertimbangan-pertimbangan emosional
lebih dominan dibandingkan dengan
pertimbangan-pertimbangan rasional bagi
perokok.
SARAN-SARAN
Agen
soisalisasi dalam perilaku
merokok adalah keluarga dan lingkungan
teman sebaya. Sementara itu, perilaku
merokok lebih berakitan dengan aspek
emosional. Saran-saran dari penelitian ini
adalah:
merokok adalah keluarga dan lingkungan
teman sebaya. Sementara itu, perilaku
merokok lebih berakitan dengan aspek
emosional. Saran-saran dari penelitian ini
adalah:
1. Bagi orang tua
yang menginginkan
anaknya tidak merokok maka anggota
keluarga tidak disarankan merokok
atau tidak memberikan pengukuh
keluarga tidak disarankan merokok
atau tidak memberikan pengukuh
positif ketika remaja merokok.
2. Teman sebaya memberikan
2. Teman sebaya memberikan
kontribusi yang cukup besar kepada
remaja untuk merokok, dalam hal ini
jika orang tua tidak menginginkan
remaja untuk merokok, dalam hal ini
jika orang tua tidak menginginkan
anaknya merokok,
maka orang tua perlu waspada
terhadap kelompok teman sebaya anak-anaknya.
3. Perilaku
merokok lebih didasarkan
atas pertimbangan emosional.
Berkaitan dengan
masalah tersebut upaya preventif
maupun kuratif
sebaiknya tidak menggunakan
sebaiknya tidak menggunakan
pendekatan kognitif seperti
pemberian informasi bahaya-bahaya
atau dampak negatif merokok, tetapi
sentuhan-sentuhan afeksional perlu
atau dampak negatif merokok, tetapi
sentuhan-sentuhan afeksional perlu
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, MER. 1997. Fenomena
Wanita Merokok. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi
UGM.
Berry, J.W., Pootinga, YPEH., Segall,
M.H., Dasen, P.R., 1992. Cross-
M.H., Dasen, P.R., 1992. Cross-
cultural Psychology:
Research & Applications. Cambridge: Cambridge Press University.
Brigham, C.J., 1991. Social Psychology.
Boston: Harper Collins
Publisher,
Inc.
Inc.
Cahyani, B. 1995.
Hubungan antara
Persepsi terhadap Merokok
dan
Kepercayaan Diri dengan Perilaku
Merokok pada Siswa STM
Kepercayaan Diri dengan Perilaku
Merokok pada Siswa STM
Muhammadiyah Pakem
Sleman
Yogyakarta. Skripsi. Tidak
Yogyakarta. Skripsi. Tidak
diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Davidson, G.C
& Neale, J.M., 1990.
Abnormal Psychology.
New York: Willey & Sons.
Durkin, K. 1995. Developmental Social
Psychology From Infancy to Old Age.
Psychology From Infancy to Old Age.
Cambrige: Blackwell
Publisher.
Gatchel,
R. J., 1989. An
Introduction to
Health Psychology. New York: Mc
Graw-Hill Book Company..
Health Psychology. New York: Mc
Graw-Hill Book Company..
Harlianti, T. T., 1988. Hubungan antara
Pemenuhan Kasih Sayang Orang Tua
dan Pengaruh Lingkungan Merokok
Teman Sebaya dengan Tingkah Laku
Merokok Remaja SMP. Skripsi.
Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Pemenuhan Kasih Sayang Orang Tua
dan Pengaruh Lingkungan Merokok
Teman Sebaya dengan Tingkah Laku
Merokok Remaja SMP. Skripsi.
Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Fakultas Psikologii UGM.
Kaplan, R.M., Sallis,
J.F & Patterson,
T.L., 1993. Health and Human
T.L., 1993. Health and Human
Behavior. New York: Mc Graw-Hill
Book Co.
Kendal, P.C.
& Hammen, C., 1998.
Abnormal
Psychology Understanding Human Problem. New
York: Houghton
Mifflin Company.
Republika 1998. Lebih Tiga
Juta
Meninggal karena
Tembakau dalam
Setahun. Harian Republika. 30
Setahun. Harian Republika. 30
Oktober 1998.
Republika 1998.
Dibanding AIDS dan
TBC, Merokok Lebih
Banyak
Mematikan. Harian Republika. 30
Mematikan. Harian Republika. 30
November 1998.
Smet, B. 1994. Psikologi
Kesehatan.
Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Suhariyono, A., 1993. Intensitas
Merokok dan Kecenderungan
Memilih Tipe
Strategi Menghadapi
Masalah pada Siswa SMTA di
Yogyakarta. Skripsi. Tidak diterbit-
Masalah pada Siswa SMTA di
Yogyakarta. Skripsi. Tidak diterbit-
kan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Theodorus. 1994., Ciri Perokok
di
Kalangan Mahasiswa/i Universitas
Sriwijaya. Jurnal JEN. No. 3, 19-24.
Sriwijaya. Jurnal JEN. No. 3, 19-24.
RESUME
Merokok merupakan
yang sangat merugikan bagi diri sendiri dan orang lainterutama pada sisi
kesehatan yang dapat menyebabkan dampak negative bagitubuh.Menurut hasil riset
Larson,bahwa indera pengecapan bagi pecandu rokok akan mengalami msalah yang
serius.Dan pada anak usia 9 tahun anak sudah mulai untuk merokk walaupun hanya
sebagian kecil.Menurut WHO perokok ebanyak 30 % adalah remaja.Peilaku merokok
juga di sebabkan dari factor lingkungan dan diri sendiri.Oleh Brighams bahwa
perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolis dan kematangan ,
kekuatan dan kepemimpinan serta daya tarik lawan jenis. Konsep TOBACO DEPENCY
(ketergantungan rokok) artinya perilaku merokok merupakan perilaku yang
menyenangkan dan bergeser menjadi aktifator yang bersifat obesif.Adapun motif
dari merokok yaitu relaksasi .Terdapat 4 tahap perilau merokok menjadi perokok
:1.tahap prepatory 2.tahap initiation 3.tahap be coming 4.tahap
maintenance.Pada dasarnya perilaku merokok adalah perilaku yang di
pelajari.Agen dari perilaku merokok yaitu orang tua(transmisi vertical) dan
teman sebaya(tranmisi horizontal).
Dala riset ini
subjek yang di ambil adalah remaja usia 15-18 tahun,dan dapat di ketahui bahwa
keluarga perokok sangat mempengaruhi anak-anaknya di bandingkan denagn kelurga
non perokok.Selain itu lingkungan sebaya mempunyai arti sangat penting untuk
kebutuhan di terima atau tidak di terima dalam suatu kelompok sebaya.Efek
psikologi memberikan efek sebesar 40% pada pecandu rokok.Menurut lavental dan
Clearly bahwa konsumsi >4 batang rokok sudah di sebut sebagai
perokok.Seorang merokok pada saat orang itu stress,karena dengan merokok di
pandang sebagai penyeimbang dalam kondisi stress.Remaja awal merupakan preide
yang paling kritis.
PENDAPAT PRIBADI
Merokok merupakan perilaku ataupun kebiasaan yang tidak mempunyai
efek positifnya,melainkan efek negative yang akan di dapat.Dari uuraian
penjelasan di atas bias kita ambil betapa pentingnya peran orang tua sebagai
tempat pertama bagi si anak untuk di didik dan diberikan pengarahan
serta pengetahuan
tentang merokok dan juga pembekalan mental,rohniah agar anak tidak
terpengaruh terhadap teman sebaya.Jadi peran keluarga di sini harus sangat bisa
di optimalkan dalam pembibingan anak.